Pengamat Ragukan Keamanan Data Masyarakat di Sertifikat Tanah Elektronik BPN
Belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan rencana pemerintah mengubah sertifikat kepemilikan tanah yang berbasis kertas ke dal...

Belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan
rencana pemerintah mengubah sertifikat kepemilikan tanah yang berbasis kertas
ke dalam bentuk elektronik atau digital. Kehebohan makin menjadi-jadi setelah
muncul informasi yang menyebut Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan
menarik lembaran sertifikat kepemilikan tanah masyarakat untuk diganti menjadi
sertifikat digital.
Jelas saja masyarakat heboh, mereka tentu khawatir dengan
keamanan sertifikat tanah elektronik. Terlebih mereka tidak memegang
salinan dalam bentuk fisik yang selama ini menjadi ‘alat pertahanan’ ketika
menghadapi sengketa.
Maraknya kasus sertifikat kepemilikan tanah ganda semakin
membuat masyarakat tidak percaya dengan rencana pemerintah yang satu ini.
Keamanan sistem yang dimiliki pemerintah juga menjadi tanda tanya.
Karena bukan sekali atau dua kali situs dan pusat data milik
instansi pemerintah mengalami peretasan yang mengakibatkan bocornya data-data
penting milik masyarakat.
Terlepas dari kehebohan yang terjadi di tengah masyarakat,
Chairman Communication & Information System Security Research Center
(CISSReC) Pratama Dahlian Persadha menilai rencana pemerintah mengganti
sertifikat kepemilikan tanah berbasis kertas ke dalam bentuk digital bukanlah
perkara mudah.
Pasalnya, masih banyak hal yang wajib ditambahkan untuk
menghindari terjadinya perubahan atau manipulasi sertifikat kepemilikan tanah
digital oleh pihak tak bertanggung jawab.
“Salah satunya penerapan digital signature (tanda
tangan digital) untuk menjaga otentifikasi setiap dokumen. Sehingga dapat
mendeteksi perubahan dokumen sertifikat tanah digital dari hasil manipulasi
oleh orang yang tidak berhak,” katanya kepada Bisnis belum lama ini.
Lebih lanjut, Pratama mengungkapkan salah satu upaya yang
dapat dilakukan untuk menghindari perubahan yang tidak diinginkan atau
manipulasi adalah penggunaan fungsi hash. Hash adalah suatu kode dari hasil
enkripsi yang umumnya terdiri dari huruf maupun angka yang acak.
Namun yang jelas, implementasi fungsi tersebut tak semudah
membalikkan telapak tangan. Karena dibutuhkan sumber daya yang tidak sedikit,
terutama untuk fungsi hash kriptografi dengan tingkat keamanan diatas fungsi
hash standar.
Selain itu, Pratama menyebut perlindungan data dan keamanan
siber pada sistem milik lembaga pemerintah juga masih menjadi pekerjaan rumah
yang berat. Masalah utamanya tentu adalah budaya birokrasi yang belum mendukung
diluar regulasi terkait dan porsi anggaran.
“Masalah utamanya adalah keamanan siber belum menjadi budaya
birokrasi kita. Padahal sejak kabinet pertama berjalan, Presiden Jokowi selalu
menekankan pentingnya e-Governance yang artinya kemudahan akses digital harus
diikuti oleh penguatan sistem keamanan sibernya,” tegasnya.
Terakhir, menurut Pratama, apabila nantinya sertifikat
kepemilikan tanah digital benar-benar diterapkan BPN wajib bekerjasama dengan
Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Badan Siber dan Sandi Negara
(BSSN) untuk melakukan pengujian sistem atau Penetration Test (Pentest).
“Minimal satu bulan sekali kepada seluruh sistem yang
terkoneksi. Ini adalah prinsip keamanan siber dan langkah preventif sehingga
dari awal dapat ditemukan kelemahan yang harus diperbaiki segera,” tutupnya.
sumber: Bisnis.com
Reaksi: |